Pendidikan dapat dikatakan sebagai upaya pembentukan moralitas luhur. Dalam konteks kekinian, pembentukan moralitas yang muncul dari dunia pendidikan belum tampak jelas. Masih sering ditemukan perilaku-perilaku negatif siswa dari berbagai tingkatan, mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Kasus-kasus yang ada juga sangat bervariatif, mulai dari tawuran antar siswa, penggunaan obat-obat terlarang atau narkoba sampai pada perilaku seksual. Bahkan, perilaku-perilaku tersebut seakan-akan menjadi sesuatu yang legal untuk dilakukan.
Salah satu penyebab utama yang menjadikan anak didik melakukan tindakan-tindakan yang tidak bermoral, adalah kurikulum yang disampaikan di sekolah-sekolah saat ini pada umumnya lebih menitik beratkan pada aspek kognitif. Pendidikan yang berlangsung selama ini kurang diarahkan pada aspek afektif peserta didik. Akhirnya, para siswa lebih mengutamakan pencapaian dalam bentuk angka-angka yang diberikan oleh para guru daripada mengembangkan aspek perasaan dan moral yang berasal dari ranah afektif.
Kondisi ini disebabkan karena kurikulum yang dipakai selama ini hanya dipahami sebagai sekedar kumpulan mata pelajaran dan seperangkat rencana. Kurikulum kurang dipahami oleh sebagian pendidik sebagai pengalaman belajar siswa yang dapat diimplementasikan menjadi pembiasaan. Pemahaman kurikulum semacam inilah yang menjadikan pendidikan di negeri ini belum mampu melahirkan manusia-manusia yang mampu membangun kehidupan bangsa ke arah lebih baik.
Padahal salah satu tujuan pendidikan adalah untuk mencapai hal tersebut. Hal ini tertera dalam Undang Undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 yang berbunyi: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara demokratis dan bertanggung jawab” . Kurikulum yang sebagian besar berlaku di Indonesia saat ini adalah kurikulum tahun 2013 dan beberapa kurikulum tahun 2006. Hampir setiap minimal 5 tahun sekali, sering terjadi perubahan demi perubahan untuk membenahi kurikulum di Indonesia. Yang saya rasakan, kurikulum demi kurikulum ini secara tidak langsung menuntut peserta didik untuk berhasil secara nilai (kognitif) pada masing-masing pelajaran yang ditempuhnya. Kurikulum berbasis pengalaman sangat berbeda dengan kurikulum berbasis kebijakan. Semakin kuat penerapan kurikulum berbasis pengalaman diaktualisasikan dalam proses belajar-mengajar di sekolah, semakin mudah dalam melakukan pembentukan karakter luhur siswa. Implementasi penanaman karakter dilakukan dengan penerapan kurikulum aktual berbasis pengalaman yang meliputi, intrakulikuler, ekstrakulikuler, hidden dan co-curicular.
Sebelum membahas tentang kurikulum berbasis pengalaman, saya coba menguraikan tentang sesuatu hal yang mendasari kurikulum tersebut, yaitu hidden curriculum. Menurut beberapa ahli pendidikan “hidden curriculum” atau kurikulum yang tersembunyi adalah istilah untuk digunakan untuk menggambarkan aturan-aturan sosial yang tidak tertulis dan harapan perilaku yang kita semua tampaknya tahu, tapi tidak pernah diajarkan (Bieber, 1994). Anak-anak tampaknya tahu bahwa jika mengganggu temannya di kelas , anak itu akan mendapatkan kesulitan. Atau misalnya siswa juga tahu bahwa bukanlah perilaku yang bagus untuk bercanda lelucon di dalam jam pelajaran. Keberadaan kurikulum tersembunyi ini tidak direncanakan, tidak di programkan dan tidak di rancang tetapi mempunyai pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap output dari proses belajar mengajar. Sebagai contoh hal-hal yang berhubungan dengan moral seperti sikap dan tingkah laku, penampilan profesional, kemampuan individual, dan apa saja yang melekat pada pribadi sang guru, akan diterima oleh peserta didiknya sebagai rambu-rambu untuk diteladani atau dijadikan bahan pembelajaran. Anak-anak tampaknya tahu bahwa jika mengganggu temannya di kelas , anak itu akan mendapatkan kesulitan. tersembunyi juga bisa menjadi kontributor besar tingkat stress bagi siswa, yang dapat mempengaruhi keterbatasan perhatian dalam belajar. Dari sini lah kurikulum berbasis pengalaman dengan pembiasaan menjadi sangat penting untuk karakter siswa di Indonesia. Mengingat sudah banyak sekali kita temukan beberapa kenakalan anak dan remaja baik di dalam maupun di luar kelas. Mencontek, menjadi juara kelas, sikap terhadap teman dan guru, mengerjakan pekerjaan rumah, mencari strategi belajar yang terbaik buat dirinya dan lain-lain adalah beberapa jenis pengalaman peserta didik yang merupakan reaksi dari kurikulum sekolah yang berlaku saat ini.
Pendidikan kurikulum berbasis pengalaman, menurut beberapa ahli antara lain adalah:
- pendapat John Dewey (2004:21) yang mengatakan bahwa tujuan dan proses dari kurikulum dan pendidikan adalah pembangunan manusia yang tidak terpisahkan dari sebuah proses, yaitu pengalaman.
- Iren Ozgur (2012:67) dalam bukunya mengatakan bahwa sisi pengalaman dalam pendidikan meliputi segala sesuatu yang dipelajari siswa melalui interaksi mereka dengan teman sebaya, guru dan lingkungan yang baik.
Kurikulum sebagai pengalaman dalam artian ini diperkuat oleh Sara Dimerman (2009:57) yang mengatakan bahwa cara terbaik bagi seseorang untuk berkembang dan memahami karakter adalah dengan pengalaman. Peserta didik belum sepenuhnya diajakuntuk menyelami permaasalahan permasalahan dibalik materi pelajaran yang sedang mereka pelajari melalui pengalaman. Maka rencana pengembangan pendidikan berbasis pengalaman sebagaimana dipaparkan diatas kiranya perlu diaplikasikan secara nyata kedalam lembaga pendidikan kita. Berdasarkan uraian tersebut, pendidikan berbasis pengalaman memiliki pengertian bahwa belajar akan mencapai tujuan apabila diilustrasikan dengan berbagai kejadian nyata dan dengan keterlibatan secara menyeluruh yang sesuai dengan aktivitas anak itu sendiri. Membangun inisiatif dari dalam diri peserta didik adalah cara yang paling efektif untuk menghantarkan keberhasilan mereka menuju kedewasaan, mengeksplorasi berbagai potensi, proaktif terhadap perubahan, tumbuhannya sikap positif, dan lain sebagainya. Karena proses belajar adalah berpikir, berbuat, bergerak, dan memperkaya pengalaman. Oleh karena itu, perubahan dalam proses pembelajaran terhadap anak sebagaimana yang telah disebutkan diatas tadi adalah mutlak diperlukan. Belajar akan memberi hasil yang sebaik-baiknya apabila didasarkan pada pengalaman, dimana pengalaman adalah suatu interaksi, yakni aksi dan reaksi antara individu dengan lingkungan. Di luar proses dalam memperoleh pengetahuan dan belajar mengajar, individu juga mengalami pengaruh lingkungan, jadi ada aksi dari lingkungan terhadap individu, dan sebaliknya individu juga bereaksi terhadap pengaruh lingkungan tersebut.
Kurikulum yang dapat membentuk karakter adalah kurikulum yang berbasis pengalaman. Kurikulum tersebut mampu menjadikan siswa melakukan nilai-nilai karakter melalui proses pembiasaan.
Leave a Reply